Jumat, 04 Desember 2009

sejarah batak dalihan natolu

Dalihan Natolu, adalah sebuah sistem sosial dan tatanan kekerabatan yang merupakan warisan budaya leluhur orang Batak sejak bermukim di kawasan Pusuk Buhit (gunung setinggi 1998 m dpl) di Kabupaten Samosir, hingga kini terus dipergunakan oleh turunan si Raja Batak baik yang tinggal di bona pasogit (kampung halaman) maupun yang tinggal di perantauan (bona pinasa).

Dalihan Natolu (tungku nan tiga) yang nyata fisik bagi orang Batak adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga buah batu dan selanjutnya dirumuskan dan diimplementasikan dalam sistem pergaulan/kekerabatan, dimana setiap orang Batak ditempatkan dalam bingkai Raja ni Hula-hula (pihak marga pemberi anak perempuannya untuk dinikahi/isteri marga lain, pihak yang lebih dihormati), Raja ni Dongan Sabutuha/Dongan Tubu (pihak yang tergolong saudara -semarga atau satu clan, sumber keturunan/hagabeon) dan Raja ni Boru (pihak marga yang menerima anak perempuan marga lain sebagai isteri, penopang/hamoraon).

Keunikan Dalihan Natolu adalah prinsip duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dimana pada suatu saat setiap orang akan duduk berganti status sebagai Hula-hula, Dongan Sabutuha atau Boru, seperti halnya batu tungku harus sama tinggi atau sama rendah sehingga periuk atau belanga (alat masak) ditempatkan sempurna diatasnya dan menerima beban yang sama. Lagi, tidak akan pernah orang berada pada posisinya, adakalanya dia berada pada posisi terhormat (Hula-hula), posisi setaraf (Dongan Sabutuha) atau posisi pelayan/parhobas (Boru). Pihak Hula-hula dalam konstelasi prinsip Dalihan Natolu berkedudukan sangat terhormat, disebut sebagai Bonani Ari (awal kehidupan, matahari terbit, sumber berkat/hasangapon), sementara pihak Boru adalah pelayan bagi Hula-hulanya, yang menanggung beban berat, yang menjemput dari jauh, tidak takut diwaktu gelap, membawa makanan tak pernah basi, membawa tuak (arak) yang tak masam.

Ketika dua atau tiga orang Batak bertemu, mereka akan saling memperkenalkan diri dengan menyebut marga sekaligus menjelaskan posisinya sebagai Hula-hula, Dongan Tubu atau Boru, hal ini akan kelihatan ketika si A memanggil si B sebagai tulang (Hulahula), memanggil si C sebagai amang boru atau ito (Boru), mungkin si D sebagai saudara/ampara (Dongantubu), artinya secara otomatis masing-masing person orang Batak mampu memahami posisi dan kedudukannya dalam tatanan sosial kekerabatan orang Batak yang patriarkhat (garis keturunan/marga dari pihak laki-laki), dan perempuan mengikut marga suaminya.

Ternyata, keunikan dan kekhasan sistem dan prinsip adat Dalihan Natolu bagi masyarakat Batak (sub etnis Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak Dairi dan Mandailing) adalah suatu “pesan” yang diturunkan sang Pencipta ke dalam jiwa dan pikiran leluhur Batak sebagaimana disebut “adat do ugari, sinihathon ni Mulajadi, siulahonon ganup ari” (adat adalah perintah yang diturunkan oleh Tuhan untuk dilakukan setiap hari), yang berawal dari ceritera/legenda adanya perselisihan atau masalah tentang hak kepemilikan terhadap seorang gadis yang dinamai Si Boru Manggale (wanita titisan Dewata), ratusan tahun yang lalu.
Menurut yang empunya cerita yang dituturkan secara turun temurun (baliga ni baligahon, barita binaritahon), di sebuah desa (huta) bermukimlah keluarga-keluarga Batak. Ada keluarga Jauhir (ahli ukir/pahat), keluarga Jatonun (tenun) dan keluarga Jatondung (datu=dukun). Raja Uhir bersama isterinya hidup rukun dan belum memiliki anak, dia bekerja sebagai pengukir kayu sementara isteri sebagai ibu rumah tangga dan bekerja di ladang. Sudah sekian lama, sang suami tidak bekerja mengukir kayu (membuat gorga atau patung kayu) karena ketiadaan kayu yang pantas untuk diukir (*) sekitar kampung, sehingga dia minta ijin kepada isterinya untuk mencari kayu ke hutan. Berhari-hari lamanya dia mencari pohon di hutan namun tidak ketemu, karena kelelahan dia istirahat bersandar pada sebuah pohon dan berdoa kepada Mulajadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) kiranya dia diberi petunjuk dan mendapatkan pohon yang cocok untuk ditebang, dibawah pohon itu dia tertidur lelap bahkan bermimpi bertemu dengan seorang gadis cantik yang menuntun dia menuju sebuah kayu besar ditengah hutan. Tiba-tiba dia terbangun, dengan rasa heran campur bingung dia melihat ke sekelilingnya, ternyata kayu tempat berlindung dan tertidur tersebutlah kayu yang ditunjuk oleh gadis dalam mimpinya.

Dia berdoa dan memohon kepada ”penjaga” hutan minta ijin untuk menebang kayu, lalu ditebangnya kayu tersebut dan dia mulai memahatnya (manguhir) dengan membayangkan gadis dalam mimpinya sebagai model. Lima hari dia memahat kayu tangannya seakan dituntun bahkan tidak terasa letih hingga selesai dan akhirnya terbentuklah patung kayu dengan rupa gadis yang cantik sempurna. Dia sangat gembira dengan harapan hasil ukirannya akan dijadikan hadiah bagi isterinya di kampung bahkan dipersembahkan bagi Raja Huta. Namun apa hendak dikata, patung kayu tidak dapat digerakkan bahkan seakan kembali tertancap ke dalam tanah. Dengan rasa kecewa Jauhir kembali ke kampung dengan harapan penduduk akan membantunya membawa dari hutan, karena patung ukirannya tidak dapat diangkut.

Lain harinya di hutan tersebut seorang pedagang tenun ulos (Jatonun) lewat dari lokasi dimana patung kayu masih berdiri tegak. Jatonun melihat kayu patung yang (seakan) memancarkan sinar, lalu dia mendekati perlahan-lahan diliputi rasa takut dan dengan hati-hati dia berupaya meneliti, dia berupaya untuk menyapa namun rupanya hanya sebatang patung kayu berupa manusia yang dipahat demikian sempurna. Jatonun mencoba menggantungkan ulos dan memakaikannya ke patung sehingga tidak lagi kelihatan telanjang. Setelah lengkap, Jatonun ingin membawanya pulang, namun sama seperti Jauhir, patung kayu tidak dapat dibawa karena masih tertancap diatas tanah, dia melakukan segala usaha namun tidak berhasil, bahkan ulos/pakaian yang dikenakan ke patung itu juga tidak dapat diambil lagi, akhirnya Jatonun mengambil keputusan meninggalkan patung tersebut di hutan.

Saat lain, Jatondung seorang datu yang selalu menyusur kampung ke kampung melintasi hutan. Ditengah jalan, dia terkejut melihat bayangan seorang gadis cantik yang berdiri ditengah hutan, diapun bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan gadis ini kog bisa berada ditengah hutan seorang diri. Sebagai seorang datu=dukun sudah barang tentu dia tidak terlalu takut karena sudah terbiasa berjalan seorang diri dan dia memiliki ”ilmu” yang tidak terkalahkan pemberian Sang Maha Pencipta. Lalu dia mendekat ke arah patung, dia belum yakin bahwa gadis itu hanya sebatang kayu, dia bertanya apa gerangan yang terjadi, apakah seseorang telah melakukan sesuatu terhadap gadis hingga menjadi patung. Untuk meyakinkan dirinya dia berusaha untuk memeluknya namun dia terpental, dan pada akhirnya dia menggunakan ”ilmu” untuk mendalami kejadian itu, juga tidak berhasil.

Beberapa waktu kemudian, dalam kondisi yang serba tidak yakin akhirnya Jatondung meminta tolong (martonggo) pada ”sang guru/Mulajadi Nabolon” agar patung gadis itu diberi nafas kehidupan. Lalu dia berkata : ”kalau kau seorang manusia, maka bergeraklah”....tiba-tiba patung itu menggerakkan tangannya; Kedua kalinya Jatondung berkata : ”kalau kau seorang gadis maka menarilah”...... patung itupun menggerakkan kedua tangannya dan mengedipkan matanya. Untuk ketiga kalinya Jatonun berkata : ”karena kau seorang gadis yang cantik, pandai menari, bicaralah katakan siapa dirimu” maka patung gadis itupun bergerak, melenggokkan tangan, dan berkata ”aku Si Boru Manggale, yang dikirimkan oleh bapaku Mulajadi Nabolon (titisan dewata)”, lalu Jatondung kembali ”martonggo” kepada Mulajadi untuk mengabulkan permintaannya membawamu si Boru Manggale ke kampung untuk dijadikan isteri, tetapi patung itu langsung menjawab sambil jongkok (posisi menyembah dengan tangan) : ”Maaf pak, tidak semudah itu kau membawaku dan menjadikanku isterimu”. Tetapi penolakan gadis itu tidak dapat diterima akal pikiran Jatondung, bahkan dengan berbagai alasan bahwa dialah yang meminta Mulajadi Nabolon untuk menghidupkan si gadis, Jatondung terus memaksa gadis itu dengan menarik tangannya, namun tidak berhasil.

Tiba-tiba, Jauhir dan Jatonun bersama beberapa orang penduduk sudah tiba di hutan dan mendengar percakapan gadis cantik Si Boru Manggale dengan Jatondung yang memaksa untuk ikut dengannya. Jauhir dan Jatonun serentak membentak Jatondung, agar tidak melakukan kekerasan kepada si gadis tersebut. Mereka bertigapun terlibat pertengkaran dan mengajukan alasan masing-masing untuk menjadi pemilik gadis Si Boru Manggale. Jauhir menyatakan bahwa dialah yang memahat kayu menjadi rupa gadis, sementara Jatonun beralasan bahwa dialah yang memberi pakaian ulos agar gadis itu tidak telanjang dan menjadi sempurna sebagai manusia, sedangkan Jatondung berkata bahwa dialah yang paling berjasa memohon kepada Mulajadi agar patung hidup menjadi manusia, menjadi gadis cantik yang diberi nama Si Boru Manggale.

Mendengar pertengkaran ketiga laki-laki tersebut, Si Boru Manggale menjadi sadar dan mengetahui sejarah kelahirannya bahwa dia adalah seorang gadis kayangan yang diturunkan oleh Sang Pencipta. Si Boru Manggale berusaha menengahi pertengkaran ketiganya dan berkata : Kalian bertiga sama-sama berhak memiliki aku, namun hal itu tidaklah mungkin saya lakukan untuk kawin dengan kalian bertiga, karena itu baiklah kita sampaikan kepada para tetua kampung untuk memberikan pertimbangan dan jalan keluar.

Kemudian merekapun menghadap kepada para tetua kampung, namun tidak memberi hasil yang memuaskan. Si Boru Manggale (gadis kayangan) selalu saja memberi nasehat kesabaran kepada ketiga calon ”pemiliknya” bahwa tidak ada masalah yang tidak selesai, dan meminta kepada ketiga laki-laki itu untuk membawa persoalan kehadapan Raja Huta/Raja Adat, dengan permintaan agar dilakukan pesta besar dengan memotong kerbau, menggelar musik ”gondang sabangunan” dan menghadirkan seluruh penduduk/ masyarakat dari seluruh huta yang ada di kawasan itu. Si Boru Manggale juga menyampaikan permintaan agar dalam gelar pesta itu, semua peserta harus memakai ulos sesuai dengan kedudukan/statusnya, di tengah halaman tempat pesta harus ditancapkan sebatang kayu hariara dan disanalah ditambatkan kerbau yang akan dipotong

Raja Huta yang sekaligus Raja Adat setuju untuk melaksanakan pesta besar itu dan menugasi semua warga hutanya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, kelompok pemusik, kelompok penyedia konsumsi, kelompok pembicara adat, kelompok muda-mudi.

Menurut yang empunya cerita, si Boru Manggale ketika itu sudah dewasa (cukup umur untuk menikah), sementara di huta tersebut banyak juga anak muda yang dewasa dan para laki-laki yang sudah kawin ”berhasrat” untuk memiliki sang gadis dari kayangan. Namun hasrat tersebut selalu dipendam karena Raja Huta telah menjadi ”menguasai” atas sang gadis dan mengamankannya dari berbagai intrik jahat para kaum Adam di huta tersebut.

Acara pestapun digelar, sesuai dengan petunjuk Raja Huta dan Tetua Adat, kerbau diikat pada tiang/kayu yang ditancapkan ditengah halaman (borotan), kayu ini didandani dengan daun beringin dan tanaman lain yang sesuai, sementara seperangkat alat musik tradisional (gondang sabangunan) sudah siap di panggung rumah Adat, semua penduduk telah berpakaian pesta (masing-masing memakai ulos), warga yang hadir juga sudah bersiap untuk manortor sesuai pengaturan tetua adat-raja parhata. Sementara Si Boru Manggale telah berada ditengah-tengah keluarga raja huta menjadi ”boru ni Raja” bagaikan raja sehari dia berdandan cantik dan pakaian sempurna.

Tiba saatnya acara pesta akan dimulai, kelompok-kelompok pesertapun sudah diatur, urutan gondangpun sudah ditetapkan, maka Raja Hutapun meminta Siboru Manggale ikut menari (manortor) dan kemudian dipanggillah juga seorang pemuda yang ganteng (hajagaran jolma) anak dari suatu keluarga yang tinggal di kawasan huta tersebut. Sebelum acara pesta manortor, Tetua adat-raja huta yang menjadi ”tuan rumah” pesta tersebut menyampaikan pesan dan harapan sekaligus menyelesaikan masalah ”perebutan” tiga orang warga atas Si Boru Manggale untuk dijadikan isteri. Dalam acara perbincangan tersebut Tetua Adat meminta ketiga orang yang menginginkan si boru manggale untuk menjelaskan apa yang mereka permasalahkan dan alasan-alasannya untuk didengarkan seluruh warga yang hadir. Kemudian Tetua Adat/Raja Huta memberi pertimbangan dan alasan-alasan kebiasaan yang telah disepakati oleh warga huta, bahwa ketiga orang (Jauhir, Jatonun dan Jatondung) memiliki hak yang sama atas si boru manggale, namun karena mereka sudah berkeluarga/beristeri sehingga jika mereka sepakat si boru manggale akan dikawinkan dengan seorang pemuda lajang yang relatif sempurna secara kemanusiaan. Kendatipun ketiga orang ini bersikeras untuk memiliki, tetapi Tetua Adat/ Raja Huta adalah orang yang dihormati dan memiliki nurani yang murni, dan diakui oleh banyak orang sebagai seorang arif dan bijaksana, akhirnya mereka bertiga setuju dan warga masyarakat mendukung untuk mengawinkan si Boru Manggale dengan pemuda yang ditunjuk oleh Tetua Adat/Raja Huta (dalam kehidupan masyarakat Batak terdapat nilai-nilai demokrasi, hak dan kewajiban : semua orang punya hak yakni jambar hata, jambar juhut, jolo diseat hata asa diseat raut, hata torop sabungan ni hata, hata mamunjung hata lalaen).


Kemudian Tetua Adat/Raja huta meminta persetujuan si Boru Manggale untuk dikawinkan dengan pemuda tersebut. Siboru Manggale tidak serta merta menyetujui permintaan Tetua Adat namun dia terlebih dahulu ”martonggo” kepada Mulajadi Nabolon untuk meminta restu, hingga akhirnya memberi jawaban setuju dengan syarat :
1. Kedepan, seluruh proses penyelenggaraan pesta dan penyelesaian masalah harus terlebih dahulu dibicarakan dan kelak dijadikan pedoman,
2. Sebelum dipersatukan dengan pemuda tersebut (pasu-pasu raja), si Boru Manggale harus diberi kesempatan untuk menari (manortor) sendirian ditengah halaman huta/lokasi pesta dan diberi kesempatan untuk berbicara (mungkin pesan-petuah dari Mulajadi Nabolon)

Pesta gondang dimulai ketika matahari bergerak naik (pagi hari-parnangkok ni mataniari) dimulai dengan tortor ”hasuhuton” dimana si Boru Manggale ikut menari bersama segenap kelompok Tetua Adat, pada gondang keempat (dalam masyarakat Batak dikenal 7 gondang utama yang harus ada dalam setiap pesta) si Boru Manggale menghentikan tortor lalu berbicara : ”Tu hamu amang raja namora di tahi na uli di gogo, inang soripada namora boru, ia ahu si Boru Manggale, na tinongos ni Mulajadi mandapothon hamu ale jolma, mauliatema di natua-tua parhata oloan, hamu do raja sioloan, tona ni Mulajadi Nabolon tu hamu sude asa molo marpesta bolon margondang sabangunan hamu, patupa hamu ma horbo na jagar, natinambat di borotan hau hariara songon pelean parsombaon mauliate tu Mulajadi Nabolon. Tu hamu na tolu (Jauhir, Jatonun, Jatondung) tongtong do hamu marnampuna di ahu, marhite hundulanmu (kedudukan) di Dalihan Natolu na gabe adat harajaon ni Batak, jala siboan rodingna be asa ture songon parpeak ni dalihan/batu tungku (masing-masing memiliki status kedudukan) ima : Jauhir goaron ma Rajani Dongan Tubu, natongtong manat tu angka horongna samarga, marhite na manat dapotan hagabeon ma; Jatonun goaron ma Rajani Boru na tongtong hibas manghobasi angka ulaon di hula-hulana, nampuna ugasan, jala ingkon sielehon do boru asa dapotan hamoraon; Jatondung goaron ma Rajani Hula-hula, nasiat marpangidoan pasahat pasu-pasu, mataniari binsar, jala ingkon somba do maradophon ho asa dapotan hasangapon. Ai ido sinta-sintani hajolmaon Batak na tarpasu-pasu ima hagabeon (marpinompar di anak dohot boru), hamoraon (maradong di arta/ugasan) dohot hasangapon;Dung songoni dengganma parpeakni susuban (kehidupan)muna diginjangni Dalihan Natolu i. On ma tona ni mulajadi tu hamu ale jolma sipadimun-dimunon mu jala ulahon hamuma i di parngoluon siapari, songon parningotan di harorongku”

Usai menyampaikan pesan Mulajadi Nabolon yang dibawanya, si Boru Manggale meminta kembali tujuh gondang hingga dia menari dengan sempurna sekaligus mendekat dengan sang pemuda yang dijodohkan Raja Huta/Tetua Adat, mereka menari/manortor bersama. Tetapi ditengah kegembiraan dan kekaguman warga yang hadir di pesta gondang tersebut menyaksikan tarian diiringi gondang sabangunan, tiba-tiba angin bertiup kencang dan sekejap itu pula si Boru Manggale terbang mengikut arah angin dan hilang dari pandangan masyarakat, sementara pemuda lajang kelihatan menari dengan seorang gadis cantik putri keluarga Raja Huta/Tetua Adat yang masih keluarga dekat Jauhir, kemudian keduanya dikawinkan dihadapan semua yang hadir di pesta gondang. Sesuai dengan pesan si Boru Manggale dilakukanlah acara adat berpedoman kepada Dalihan Natolu, dan akhirnya mereka sadar bahwa benarlah si Boru Manggale titisan dewata (yang diutus oleh Mulajadi Nabolon).
Demikianlah cerita si Boru Manggale yang diyakini sebagai asal mula turunnya adat-istiadat Dalihan Natolu. Cerita legenda ini direka ulang dari cerita para orangtua, juga sebagaimana pernah dituliskan Raja Marpodang Gultom dalam bukunya DALIHAN NATOLU, dengan catatan nama tiga orang pelaku utama disesuaikan dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki. Legenda ini sudah digelar dalam bentuk sendratasik (seni drama, tari dan musik) oleh Sanggar Seni Budaya Sianjurmula-mula pada Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU Medan) bulan April 2009 dan hiburan dalam rangka HUT RI ke 64 di Limbong Kec. Sianjurmula-mula. Ternyata Samosir memiliki potensi legenda yang dapat diangkat menjadi cerita budaya dalam bentuk sendratasik (opera Batak), yang akan dinikmati oleh wisatawan yang datang ke Samosir maupun masyarakat lokal Samosir sendiri. Dalam kaitan itu untuk menggali dan melestarikan kekayaan seni budaya Batak, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kab.Samosir telah mengumpul cerita/legenda dan mendorong terbentuknya Sanggar Seni Budaya di masing-masing Kecamatan se Samosir yang akan menjadi pelaku senibudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar